Lebih Bergizi Mana ? Telur rebus Setengah Matang atau Matang ?
Penulis pernah mendapat soal Biologi saat ikut Pembinaan Campuran dulu. Berikut soal tersebut :
Aditya merasa lapar. Ketika akan makan di meja makan ada lauk 2 telur rebus. Telur rebus tersebut ada yang matang, ada yang juga 1/2 matang. Manakan diantara 2 telur tersebut yang lebih bergizi ?
Setelah melihat-melihat internet, saya menemukan jawabannya dari Sumber ini :
Walau kini sudah banyak yang mengakui bahwa telur merupakan sumber protein, lemak, mineral, dan vitamin larut lemak yang baik, namun banyak yang masih bertanya-tanya, dalam keadaan bagaimana sebaiknya penganan ini dikonsumsi: mentah, setengah matang, atau matang? Ini karena adanya pengalaman mengonsumsi telur mentah bisa membuat lebih tahan lapar, sehingga memunculkan anggapan telur mentah lebih bergizi dibandingkan dengan telur matang.
Nilai gizi telur mentah, setengah matang, dan matang, sebetulnya tak jauh beda. Hanya, karena telur mentah “sedikit daya dapat dicernanya”, bahan makanan ini dapat awet “nangkring” di perut dalam keadaan utuh. Akibatnya, seseorang yang mengonsumsi telur mentah bisa merasa kenyang lebih lama daripada yang makan telur matang. Keawetan membuat kenyang inilah yang menyebabkan telur mentah dikira lebih bergizi.
Selain itu, mengonsumsi telur mentah bukan berarti tak akan menimbulkan masalah. Adanya bakteri yang mendompleng hidup dalam telur dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan pengonsumsinya.
Salmonela adalah suatu bakteri yang dapat menimbulkan keracunan (salmonella food poisoning), menyebabkan tifus dan disentri, dengan gejala-gejala seperti mual, muntah, sakit perut, sakit kepala, kedinginan, demam, dan diare. Bakteri ini dapat menyusup ke dalam telur sewaktu telur masih dalam “kandungan”, namun yang paling sering setelah dikeluarkan, terutama apabila kebersihan kandang dan lingkungan kurang diperhatikan.
Untuk menghindari terjadinya keracunan salmonela, Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) mengharuskan melakukan pemanasan (pasteurisasi) minimal selama 3,5 menit pada suhu 56,7 derajat Celsius atau 6,2 menit pada suhu 55,5 derajat Celsius untuk putih telur, dan 6,2 menit pada suhu 60 derajat Celsius untuk telur utuh.
Akan tetapi, problem yang bisa ditimbulkan telur, khususnya yang mentah, bukan hanya karena salmonela, beberapa zat yang dikandungnya dapat pula mencetuskannya. Zat-zat tersebut adalah:
Avidin
Tahun 1930, Parsons dan para asistennya menemukan beberapa gejala kehilangan rambut terutama sekitar mata, penurunan berat badan yang cepat, kelumpuhan pada kaki belakang, hingga kematian, pada tikus-tikus yang diberi pakan mengandung putih telur (albumin) mentah.
Penelitian lebih lanjut mendapati, situasi tersebut disebabkan suatu glikoprotein yang diberi nama avidin, artinya “albumin yang lapar”, yang bagi embrio ayam berfungsi sebagai pembunuh bakteri perusak (toxic) dari luar, selain pelindung unsur-unsur gizi lain di dalam telur. Avidin mampu mengikat biotin, sehingga tak dapat diserap melalui pencernaan.
Biotin merupakan koenzim dari berbagai enzim yang berpartisipasi dalam proses karboksilasi, dekarboksilasi, reaksi deaminasi, sintesis asam lemak dan reaksi fiksasi CO2. Dalam siklus Krebs, biotin juga diperlukan bagi perubahan asam suksinat menjadi fumarat dan oksalosuksinat menjadi ketoglutarat.
Dari percobaan pada manusia, melibatkan empat sukarelawan yang diberi ransum mengandung sekitar 3.000 kalori, yang 928 kalorinya berasal dari albumin mentah, serta rendah kandungan biotinnya, dengan jangka waktu pemberian 10 minggu, didapati, pada minggu ketiga dan keempat mereka mengalami masalah di bagian kulitnya. Di samping itu ditemukan adanya penurunan kadar hemoglobin dan biotin dalam urine hingga sepersepuluh dari normal, serta kenaikan kadar kolesterol.
Agar situasi ini dapat dihindari, selain perlu penambahan asupan biotin, keaktifan avidin juga mesti dilumpuhkan, dengan cara memanaskan telur pada suhu 18 derajat Celsius selama 5 menit (pada suhu yang lebih tinggi, waktu pemanasan bisa lebih singkat), kecuali untuk telur yang telah mengalami fermentasi, seperti telur “1.000 tahun” dari Cina, yang memerlukan waktu pemanasan 18 kali lebih lama.
Ovomucoid
Penelitian terhadap 3.789 pasien Poli Anak RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta, pada 1995, oleh Elberink dkk. menunjukkan, sebanyak 77,8% anak menderita alergi gara-gara telur, dengan gejala klinis yang timbul berupa manifestasi kulit (urtikaria, gatal, merah, bengkak, papula, vesikula) dan manifestasi saluran pernapasan (batuk, wheezing).
Menurut Zakiudin Munasir, dari Subbagian Alergi Imunologi, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-RSCM, situasi tersebut umumnya muncul karena ovotransferrin, ovalbumin, dan, yang paling sering, ovomucoid.
Ovomucoid merupakan protein pada telur yang memiliki aktivitas antitripsin. Protein tersebut meliputi sekitar 12% bahan kering albumin, mengandung 22% karbohidrat, serta kaya akan gugus -SH (2% dari ovomucoid adalah sulfur).
Supaya ovomucoid tidak sampai bertingkah macam-macam, paling tidak ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, tidak memberi bayi dan anak, terutama yang memiliki “bakat” alergi (intrinsic allergic potency) putih telur, apalagi dalam keadaan mentah. Kedua, senantiasa mengonsumsi telur yang telah matang. Dengan pemanasan pada suhu 80 derajat Celsius selama 30 menit, sekitar 90% aktivitas ovomucoid dapat dihancurkan. Sedangkan pada pemanasan dengan suhu 90 derajat Celsius selama 15 menit, seluruh kekuatannya bakal hilang.
Melamin
Pada 25 Oktober 2008, setelah dilakukan uji coba di laboratorium, Pusat Keselamatan Makanan (CFS) Hongkong menemukan adanya telur yang mengandung melamin sebanyak 4,7 parts per million (ppm). Melamin merupakan bahan yang biasa digunakan di antaranya untuk memproduksi plastik, pupuk, dan cat. Diduga, bahan tersebut masuk telur lewat pakan yang diberikan kepada ayam.
Beberapa pakar kesehatan mengatakan, dengan kadar yang sangat kecil, melamin sebetulnya tidak menimbulkan potensi bahaya. Namun, dengan kadar sebanyak itu, unsur ini disebut-sebut mampu menimbulkan batu ginjal hingga gagal ginjal.
Pasalnya, hingga saat ini belum ditemukan cara untuk menetralisasi melamin dalam telur, maka langkah yang paling tepat guna menghindarinya adalah dengan tidak mengonsumsi telur yang mengandung melamin, baik yang sudah matang, setengah matang, apalagi mentah!
Jadi, Sebenarnya kedua telur itu sama-sama bergizi. Tetapi, bagi kesehatan telur setengah matang lebih berbahaya karena bakteri tidak mati sempurna, daripada telur matang.